Ulasan Eksegese Injil Minggu XXXIV – 0 Pekan II: 22
November 2015: Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam (Yoh 18:33b-37)
BY A. GIANTO ON
NOVEMBER 18, 2015JENDELA ALKITAB, MINGGUAN
BERKUASA ATAS SEMESTA ALAM?
PADA hari
raya Kristus Raja Semesta Alam tahun B ini dibacakan Yoh 18:33b-37. Petikan ini
memperdengarkan pembicaraan antara Pilatus dan Yesus. Pilatus menanyai Yesus
apakah betul ia itu raja orang Yahudi ketika memeriksa kebenaran tuduhan orang
terhadap Yesus. Yesus menjelaskan bahwa kerajaannya bukan dari dunia sini. Ia
datang ke dunia untuk bersaksi akan kebenaran.
Injil
mengajak kita mengenali Yesus yang sebenarnya, bukan seperti yang dituduhkan
orang-orang, bukan pula seperti anggapan Pilatus yang sebenarnya tidak begitu
peduli siapa Yesus itu. Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini juga merayakan
kebesaran manusia di hadapan alam semesta. Itulah kebenaran yang dipersaksikan
Yesus dan yang dipertanyakan Pilatus.
RAJA DALAM PERJANJIAN LAMA
Dalam
alam pikiran Perjanjian Lama, raja berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Di
Kerajaan Selatan, yakni Yudea, peran ini dipegang turun-temurun. Kepercayaan
ini terpantul dalam silsilah Yesus dalam Injil Matius yang melacak leluhur
Yesus, anak Daud, anak Abraham (Mat 1:1-17). Lukas menggarisbawahinya dan
melanjutkannya sampai Adam, anak Allah, yakni “gambar dan rupa” sang Pencipta
sendiri di dunia ini (Luk 3:23-38). Tetapi dalam menjalankan peran ini, raja
sering diingatkan para nabi agar tetap menyadari bahwa Tuhan sendirilah yang
menjadi penguasa umat. Kehancuran politik yang berakibat dalam pembuangan di
Babilonia (586-538 s.M.) mengubah sama sekali keadaan ini. Raja ditawan dan
dipenjarakan, kota Yerusalem dan Bait Allah dijarah, negeri terlantar dan morat-marit
hampir selama setengah abad. Pengaturan kembali baru mulai setelah pembuangan,
pada zaman Persia. Bait Allah mulai dibangun kembali (baru selesai 515 s.M.),
walau kemegahannya tidak seperti sebelumnya. Tidak ada lagi raja seperti dulu
walau ada penguasa setempat yang berperan dengan cukup memiliki otonomi di
dalam urusan keagamaan. Pada zaman Yesus, keadaan ini tidak banyak berubah.
Memang ada harapan dari sementara kalangan orang-orang Yahudi bahwa kejayaan
dulu akan terwujud kembali. Maka itu, ada harapan akan Mesias Raja. Harapan ini
mendasari pelbagai gerakan untuk memerdekakan diri. Hal ini sering malah
memperburuk keadaan. Penguasa asing menumpas gerakan itu dan memperkecil ruang
gerak orang Yahudi sendiri. Maka itu, di kalangan pemimpin Yahudi ada
kekhawatiran apakah Yesus ini sedang membuat gerakan yang akan mengakibatkan
makin kerasnya pengaturan Romawi. Mereka mendahului menuduh Yesus di hadapan
penguasa
PATUTKAH IA?
Menurut
Yohanes, memang orang pernah bermaksud mengangkat dia sebagai raja (Yoh 6:15,
sehabis memberi makan 5.000 orang). Akan tetapi, tak sedikit dari mereka itu
nanti juga meneriakkan agar ia disalibkan. Bukannya mereka tak berpendirian.
Mereka itu seperti kebanyakan orang ingin hidup tenteram. Mereka mendapatkan
roti dan ingin terus, tetapi mereka juga berusaha menghindari kemungkinan
mengetatnya pengawasan dari penguasa Romawi. Di dalam kisah sengsara memang
tercermin anggapan yang beredar di kalangan umum bahwa Yesus itu bermaksud
menjadi raja orang Yahudi: olok-olok para serdadu (Mat 27:29; Mrk 15:9.18; Luk
23:37; Yoh 19:3), papan di kayu salib menyebut Yesus raja orang Yahudi (Mat
27:37; Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh 19:19-21), olok-olok para pemimpin Yahudi di
muka salib (Mat 27:42; Mrk 15:32), kata-kata Pilatus di depan orang Yahudi (Yoh
19:14-15).
Kisah
kelahiran Yesus menurut Matius juga menceritaan kedatangan para orang bijak
dari Timur mencari raja orang Yahudi yang baru lahir (Mat 2:2). Namun demikian,
seluruh kisah itu justru menggambarkan kesederhanaannya. Gambaran yang sejalan
muncul dalam kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-10;
Luk 19:28-38; dan Yoh 12:12-13). Ia disambut sebagai tokoh yang amat
diharap-harapkan dan diterima sebagai raja, terutama dalam Yohanes. Jelas juga
bahwa tokoh ini ialah raja yang bisa merasakan kebutuhan orang banyak.
Menurut
Markus, Matius, dan Lukas, di hadapan Pilatus Yesus tidak menyangkal tuduhan
orang Yahudi bahwa ia menampilkan diri sebagai raja, tetapi tidak juga
mengiakan (Mat 27:11; Mrk 15:2; Luk 23:2-3). Dalam Yoh 18:33-39, ia justru
menegaskan bahwa ia bukan raja dalam ukuran-ukuran duniawi.
Injil mewartakan Yesus sebagai Mesias dari Tuhan.
Dalam arti itu, ia memiliki martabat raja. Namun demikian, wujud martabat itu
bukan kecermelangan duniawi, melainkan kelemahlembutan, kemampuan ikut
merasakan penderitaan orang, dan mengajarkan kepada orang banyak siapa Tuhan
itu sesungguhnya.
RAJA SEMESTA ALAM
Guna
mendalami Injil Yohanes mengenai Yesus, sang raja yang bukan dari dunia ini
meski dalam dunia ini, marilah kita tengok madah penciptaan Kej 1:1-2:4a. Injil
Yohanes, khususnya dalam bagian pembukaannya (Yoh 1:1-18), mengandaikan pembaca
tahu bahwa ada rujukan ke madah penciptaan itu.
Ciptaan
terjadi dalam enam hari pertama (Kej 1:1-31) dan manusia sendiri baru diciptakan
pada hari keenam. Dalam enam hari itu, Tuhan mencipta dengan bersabda. SabdaNya
menjadi kenyataan. Diciptakan berturut-turut: waktu siang dan malam (Kej
1:3-5), langit (ay. 6-8), bumi beserta tetumbuhan (ay. 9-12), matahari, bulan,
dan bintang-bintang (ay. 14-19), ikan di laut dan burung di udara (ay. 20-23),
hewan-hewan di bumi (ay. 24-25), dan akhirnya manusia.
Sesudah
menciptakan hewan-hewan pada hari keenam itu, Tuhan bersabda, “Marilah kita
menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita!” (Kej 1:26). Ungkapan “kita”
memuat ajakan kepada seluruh alam ciptaan yang telah diciptakanNya itu untuk
ikut serta dalam penciptaan manusia. Seluruh alam semesta yang telah diciptakan
kini “menantikan” puncaknya, yakni manusia. Dalam diri manusia terdapat peta
kehadiran Tuhan Pencipta yang dapat dikenali oleh alam semesta. Oleh karena
itu, manusia juga diserahi kuasa menjalankan pengaturan bumi dan isinya (Kej
1:29).
Manusia
diciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Dalam cara bicara Ibrani,
ungkapan dengan dua bagian ini merujuk kepada keseluruhan manusia, jadi seperti
kata “kemanusiaan” atau “humankind” dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan
ungkapan “benar-salahnya”, maksudnya “kebenarannya”; “jauh-dekatnya” maksudnya
“jaraknya”.
Pada hari
ketujuh (Kej 2:1-4a) sang Pencipta beristirahat dan memberkati hari itu.
Pekerjaan yang telah diawaliNya itu kini dilanjutkan oleh manusia karena
manusia memetakan kehadiranNya. Hari ketujuh tak berakhir, inilah zaman alam
semesta yang diberkati Tuhan Pencipta.
Gambaran
di atas menjadi gambaran ideal manusia sebagai raja yang mewakili Tuhan di
hadapan alam semesta. Kebesaran manusia sang “gambar dan rupa” Tuhan dan alam
semesta itu diterapkan Yohanes kepada Yesus. Dalam hubungan ini Yohanes merujuk
Yesus sebagai “Sabda”, yakni kata-kata “Terjadilah…!” dst. yang diucapkan Tuhan
dalam menciptakan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia sendiri.
Dengan
latar di atas, makin jelas apa yang dimaksud Yesus ketika berkata kepada
Pilatus (Yoh 18:36) bahwa kerajaannya bukan dari dunia ini, bukan dari sini.
Yesus itu memang raja dalam arti puncak ciptaan sendiri, kemanusiaan yang
sejati seperti dulu dikehendaki sang Pencipta. Dalam ay. 37 Yesus menambahkan
bahwa untuk itulah ia lahir, untuk itulah ia datang. Seluruh kehidupannya
mempersaksikan kebenaran, yaitu manusia yang dikehendaki Pencipta sebagai
puncak ciptaan yang membadankan unsur-unsur ilahi dan ciptaan dalam dirinya.
Dengan
demikian, dalam perayaan Kristus Raja Semesta Alam, dirayakan juga kebesaran
manusia, yakni manusia seperti dikehendaki Pencipta. Itulah kebesaran martabat
manusia sejati. Sesudah perayaan ini, orang Kristen menyongsong Masa Adven
untuk menantikan pesta kedatangan Yesus, Raja yang bakal lahir dalam
kemanusiaan yang sederhana tapi yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa.
Kembali
ke dialog antara Pilatus dan Yesus. Dalam Yoh 18:37 disebutkan Yesus datang ke
dunia, ke tempat yang dalam alam pikiran Injil Yohanes dipenuhi
kekuatan-kekuatan yang melawan Allah Pencipta, untuk mempersaksikan
“kebenaran”. Apa kebenaran itu? Pertanyaan ini juga diucapkan oleh Pilatus. Ini
juga pertanyaan kita yang dalam banyak hal memeriksa Yesus. Menurut Injil
Yohanes, “kebenaran” yang dipersaksikan Yesus itu ialah kehadiran ilahi di
kawasan yang dipenuhi kekuatan gelap. Ia menerangi kawasan yang gelap. Inilah
yang dibawakan Yesus kepada umat manusia. Inilah yang membuatnya pantas jadi
Raja Semesta Alam. Orang yang mengikutinya akan menemukan jalan kembali ke
martabat manusia yang asali, yakni sebagai “gambar dan rupa” Allah sendiri.
Orang yang mendekat kepadanya dapat berpegang pada kebenaran ini. Masyarakat
manusia kini, di negeri kita, butuh cahaya itu juga. Dan kita-kita yang percaya
kepada terang itu diajak untuk ikut membawakannya kepada semua orang. Inilah
makna perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang kita rajakan bersama Injil
Yohanes tahun ini.
Salam
hangat,
A. Gianto
RAJA SEMESTA ALAM
A. Gianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar