Dalam Kamis Putih kita diajak untuk merenungkan makna perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus bersama para rasul.
Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Murid membasuh kaki gurunya sebab menganggap guru mempunyai status yang lebih terhormat daripadanya.
Pada malam Kamis Putih Yesus mencuci kaki para murid. Jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas dihormati gurunya sedemikian rupa. Tapi Yesus tidak mundur dengan penolakan Petrus, bahkan Dia mengancam kalau Petrus tidak mau maka dia tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya. Aku yakin bahwa yang gelisah dan menolak bukan hanya Petrus melainkan semua murid dan mungkin juga Yudas. Apakah Yesus hanya mau mencari sensasi saja?
Pelayanan Kamis Putih secara tradisional dan menyejarah dapat
mengenangkan kita pada peristiwa-peristiwa di mana Yesus mendekatimasa-masa kematian-Nya. Peristiwa-peristiwa yang sangat kaya
makna dan penting. Ini adalah pengenangan pada perempuan
yang meminyaki Yesus dengan parfum dari
buli-buli dan mengusapnya dengan rambutnya. Ini
juga pengenangan akan perjamuan malamyang
dilakukan Yesus, akhir masa Yesus berbagi roti dengan para murid. Ini adalah tanda dari keteladanan
Yesus yang mereka semua pengikutnya menyebutnya pelayan. dan ini juga pengenangan akan
pengkianatan yang dilakukan Petrus dan juga Yudas.
Ibadah
Kamis Putih adalah pelayanan doa,
menggambarkan peran Yesus yang telah datang ke dunia membawa
terang, terang yang segera padam. Pelayanan
ini memiliki sebuah karunia sebagai garis luarnya sebagai sebuah lingkaran;
terang (cahaya)-pelayanan-Perjamuan Kudus-pelayanan-terang. Terang Allah adalah terang dari
penciptaan dan terang Kristus. Di
dalam terang Kristus kita menemukan sebuah pesan, "Melayani"!
Tindakan Yesus membasuh kaki merupakan tindakan simbolis yang menyimbolkan
penyerahan diri, pembersihan, pengampunan, pembaharuan, kemuridan dan ibadah. Penyerahan diri yang dimaksudkan
adalah penyerahan diri Yesus dalam kematian untuk membersihkan orang lain. Pembasuhan kaki yang Yesus lakukan juga menyimbolkan
kerendahan hati dan keinginan untuk menjadi hamba yang mau melayani orang yang hina sekalipun.
Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Yesus sejak awal berusaha membuat sebuah hukum baru, yang berbeda dengan aturan yang berlaku pada umumnya di dunia ini. Dalam Kotbah di Bukit dengan jelas Yesus hendak membangun suatu komunitas yang berbeda dengan masyarakat yang sudah ada. Hal ini bukan sifat Yesus yang aneh-aneh melainkan Dia berusaha membangun sebuah komunitas sempurna.
Dunia mengajarkan penghormatan adalah hak orang yang lebih tinggi
martabatnya. Orang yang mempunyai jabatan, kekayaan atau kekuasaan. Orang
miskin dan marginal hanya wajib menghormati namun dia tidak mendapat
penghormatan. Rakyat wajib menghormati presiden sebaliknya presiden tidak
mempunyai kewajiban menghormati rakyatnya. Anak wajib menghormati orang tuanya,
sebaliknya orang tua tidak mempunyai kewajiban yang sama. Bahkan tidak jarang
orang yang dianggap punya kekuasaan tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya dapat
sewenang-wenang menindas orang yang dianggap lebih rendah. Penghormatan berlaku
dari bawahan pada atasan.
Yesus membalik aturan dunia ini. Dia mengajarkan penghormatan dari
atasan pada bawahan. Dari guru pada murid. Dari penguasa pada orang yang tidak
berkuasa, dari orang terhormat pada para kaum proletar. Ini adalah pukulan
penyadaran bagi para murid. Beberapa kali mereka memperdebatkan siapa yang
terbesar diantara mereka, sebab dengan merasa terbesar mereka berhak mendapatkan
penghormatan dari yang lainnya. Ini adalah suatu bentuk ketidakadilan dimana
orang hanya menuntut penghormatan sebaliknya dia tidak mau menghormati
sesamanya.
Semua manusia adalah citra Allah. Bermartabat sama. Namun tata
dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokan manusia dalam bermacam
tingkatan. Pembagian ini berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan
sebagainya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara otomatis
menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan
orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan
kebangsawanan.
Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan
orang yang bukan bangsawan atau bangsawan yang lebih rendah. Apalagi mereka
menikah dan sebagainya. Kisah kasih Pronocitro dan Roro Jogran mencerminkan
adanya batasan itu. Dalam budaya Cina juga ada kisah Sam Pek dan Ing Tay yang
mencerminkan hal yang sama. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi
mendampatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik,
kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan.
Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka
gelar akademik atau aneka jabatan. Semua gelar ditulis rapi agar orang yang
tidak punya gelar menghormatinya. Tata nilai dunia ini tidak adil, sebab
kapankah Mbok Jah yang hanya berjualan sayuran eceran atau Laksmi yang hanya
seorang pekerja seks kelas teri di stasiun atau Asep yang hanya anak jalanan
akan dihormati oleh orang lain yang bergelar profesor, berjabatan sekwilda dan
sebagainya? Mereka hanya akan diperlakukan sewenang-wenang, tidak dianggap
manusia, padahal martabat Asep sama dengan Pak Banu yang berpangkat jendral.
Keduanya adalah citra Allah.
Suatu hari aku dan teman-teman dari rumah singgah diundang
seseorang yang berulang tahun di sebuah rumah makan mewah. Ketika kami datang,
maka orang itu langsung mempersilahkan aku duduk di tempat yang sudah
disediakan, sedangkan teman-temanku yang lain tidak dipedulikan. Hal ini
terjadi karena aku adalah seorang imam dan teman-temanku adalah anak jalanan.
Padahal martabatku sama dengan mereka. Inilah nilai dunia yang hendak diubah
oleh Yesus.
Penghormatan kepada kaum bawahan hanya bisa dilakukan bila orang
yang dianggap atasan berani melepaskan atribut pemberian duniawi yang menempel
di dirinya. Yesus melepaskan jubahnya yang melambangkan statusNya sebagai guru.
Dia mengambil posisi hamba. Ini adalah salah satu bentuk pengosongan diri.
Yesus sadar bahwa Dia adalah Guru namun berani melepaskan lambang-lambang
keguruan. Keguruan Yesus bukan terletak pada lambang jubah melainkan
kewibawaannya dalam mengajar, teguh dalam prinsip, kearifan, kebijaksanaan,
belas kasih dan sebagainya. Dengan demikian keguruan Yesus bukan dari apa yang
ditempelkan oleh masyarakat melainkan apa yang ada dalam diriNya.
Maka dalam Kamis Putih kita diingatkan kembali
akan semuanya itu oleh Yesus yang dengan tegas mengatakan bahwa Dia adalah Guru
dan Tuhan mau melakukan pembasuhan kaki para murid. Dari semuanya yang terpenting bagi kita sekarang adalah belajar
"jangan
membandingkan", jadilh pelayanan satu dengan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar