“Kita sangat beruntung dan berbahagia, karena sesungguhnya apa yang
kita alami saat ini adalah buah-buah dari belas kasih Allah yang tidak hanya
kita dengarkan, tetapi sungguh dapat kita lihat didepan mata kita sendiri”.
Waktu masih menunjukkan pukul
17.30 wita, ruang dalam gereja Katolik St. Maria Immaculata Mataram sudah
dibanjiri oleh nuansa putih umat dengan pakaian yang dikenakan. Pada sudut-sudut ruang tampak patung
sakramentalia masih terbungkus kain ungu demikian pula salib besar di atas
tabernakel. Sesekali tampak
berlalulalang petugas berselempang mengatur posisi duduk umat pada kurs umat
yang memang sudah penuh itu. Suasana sore ini serasa terlalu hangat, entah karena
cuaca yang memang panas sejak pagi, atau karena banyaknya umat yang hadir. Baru beberapa saat berlalu polisi selesai
menyisir lokasi-lokasi dan masih melakukan serangkaian pengamanan di
lokasi-lokasi khusus gereja.
Altar kudus putih berkilau,
kembang putih berdaun hijau berbaris berayun dipelataran bawah meja altar indah
tertata wanita katolik siang tadi, lilin-lilin
putih menyala menari- narikan lagu dipanggung pujian hadirkan kemilau
Dia yang dikenang.
Di pelataran halaman
depan dan samping mulai dipenuhi umat setelah aula gereja tak mampu menampung
kehadiran umat. Sejauh mata memandang hanya terlihat warna putih dan putih,
suasana putih sungguh menjadi dominan dan menguasai hati dan pikiran umat saat
ini.
Perarakan kamis putihpun dimulai
dari samping gereja mengikatari halaman dan masuk melalui gerbang masuk depan
gereja. “selayaknya kita, berbangga akan salib Yesus Kristus...” suara koor
lingkungan St. Yohanes Babtis Rembiga menyambut perarakan, membentangkan
peristiwa dijalan ke altar Putih, “ Kristus sudah mengosongkan diri Nya, dengan
mengambil rupa seorang hamba....” suara solo
dari koor merayapkan nuansa syukur di dasar hati.
Misa dipersembahkan oleh seorang
romo muda yang berenergi, Romo Eligius, Pr.
“Pada hari ini kita semua mengenangkan kembali sebuah peristiwa besar
dalam keselamatan manusia, peristiwa keteladanan melayani dan berkorban. Peristiwa perjamuan sang Guru dan Tuhan kita
Yesus Kristus” demikian rm Eli mengawali misa.
Dalam homilinya, rm. Eli
menyampaikan bagaimana kita sangat beruntung dan berbahagia, karena sesungguhnya
apa yang kita alamai saat ini adalah buah-buah dari belas kasih Allah yang
tidak hanya kita dengarkan, tetapi sungguh dapat kita lihat didepan mata kita
sendiri. Keteladanan hidup sang Kristus
dalam melayani, bahkan memberi diriNya sendiri sebagai korban silih bagi kita
yang dicintainya. Pembasuhan kaki
merupakan suatu tanda dan teladan yang meskipun sudah seringkali kita lihat
atau bahkan kita alami, namun maknanya belumlah kita pahami secara
mendalam. Pembasuhan kaki justru menjadi
dasar kita dalam interaksi dan relasi sesama.
Kerendahan hati, mau menyangkal diri, memberi diri seperti Yesus pada
murid-muridnya, demikian juga kita mau melakukan itu dalam hidup kita.
Mengenang dan melakukan ritual
basuh kaki, memang dua hal yang berbeda.
Kita kebanyakan baru bisa sampai pada mengenang kemudian
mendramatisasinya atau melihatnya dalam misa kamis putih ini, namun seharusnya
kita-pun seyogyanya mampu melakukan itu justru dalam hidup kita
sehari-hari. Melayani seperti Yesus yang
sudah teladankan. Mari kita yang saat
ini sedang berjuang dalam memaknai arti Kamis putih ini, menjadikan teladan
Yesus ini dalam hidupkan diri kita ditengah kelarga dan masyarakat.
Perjamuan kudus dengan warna
basuh kaki, pemberian diri sang Guru, menjadi tubuh dan darah bagi kita. Suatu
fakta yang tiada mudah untuk dimengerti.
Batasan pikiran sebagai sumber informasi tak kunjung cerap mencerna
ini. Hati yang bertanya tiada puas
mendapat jawab. Semua indra serasa tiada
benar. Ada banyak tanya dalam benak,
dahi berkerut mencari jawab, apa, kenapa dan mengapa? Hanya putih bersih bagai
salju yang tampak. Dia sudah memberi
tanpa harus kita mengerti, mungkin waktu kita yang masih dangkal, pecahkan
misteri ini. Biar hanya iman saja yang
cerap mampu mengunyah meresap rasa, berlutut percaya dalam 3 saat peristiwa
perarakan sakramen maha kudus. “ Tantum
ergo sacram’entum, vener’emur c’ernui, et anti’quum docum’entum...” sujud
menyembah umat mengiringi hormat dan syukur pada sakramen maha kudus ke dalam
ruang adorasi gereja.
Kini altar kudus sepi tiada
warna, tabernakel terbuka lebar, kosong berongga. Meja altar bagai telanjang, tiada hias, tiada
kembang, tiada kilau lilin-lilin menari.
Wajah umat beralih pada tuguran malam di sakramen maha kudus silih
berganti doa-doa terucap, syukur dan puji terangkat hingga pagi hari berteman
akrab dengan sang Kudus di balutan kesucianNya. (Komsos Mtr).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar