TAHUN
1974, Romo Yohanes Indrakusuma, CSE menerima surat dari kenalannya, seorang
pemimpin tarekat suster di Perancis. Suster itu mengisahkan pengalamannya saat mengikuti
sebuah retret Karismatik. Romo Yohanes agak skeptis membalas surat itu. Sekali
lagi, suster
itu
meyakinkan Romo Yohanes bahwa Roh Kudus berkarya secara istimewa dalam gerakan
Karismatik. “Entah mengapa, mendadak kalimat-kalimat itu menyentuh hati saya,”
ungkap Romo Yohanes, sebagaimana tertulis manusia bila kita memohon
sungguhsungguh kepada-Nya,” tandas imam kelahiran Nganjuk, 8 Juni 1938 ini.
Realitanya,
sebagian umat Katolik masih belum “sreg” dengan ungkapan-ungkapan lahiriah
dalam Karismatik, sebagaimana terlihat dalam persekutuan-persekutuan doa, seperti
bertepuk tangan, mengangkat tangan, menari-nari, dsb. Karena itu, menurut
doktor spiritualitas lulusan Institut Catholique de Paris ini, sebaiknya
Karismatik dibedakan antara isi dan kemasannya. “Isinya sama tapi kemasannya
bisa berbeda,” tandasnya lagi. Tepuk
tangan, sorak sorai yang kerap menjadi ekspresi lahiriah kelompok Karismatik
memang masih membuat orang-orang non-Karismatik “tak bisa memahami”.
Bahkan
ketika masih pastor muda, Paus Fransiskus pun skeptis terhadap gerakan
Karismatik. “Orang-orang ini membingungkan liturgi dengan pelajaran samba,”
katanya kepada wartawan pada 28 Juli 2013. Seiring bergulirnya waktu, Paus Fransiskus
berpendapat lain. “Sekarang, saya berpikir bahwa gerakan ini banyak berbuat
baik untuk Gereja. Gerakan Karismatik bukan saja mencegah umat beralih ke
denominasi Pentakosta, tetapi gerakan ini merupakan pelayanan untuk Gereja
Katolik. Gerakan ini memperbarui kita!” dalam buku “Sang Petapa Sejati” (Maria
E_y, dkk).
Selang
beberapa waktu, suster itu mengirim tiga buku mengenai “Pentakosta Katolik”
karangan Kevin dan Dorothy Renegan. “Ternyata, isi buku itu merupakan
hal yang selama ini saya cari,” ujar Romo Yohanes.
Selanjutnya,
Romo Yohanes berburu literatur-literatur lainnya tentang Karismatik. Ia
mendapati bahwa setiap orang bisa mengalami kehadiran Allah melalui pencurahan Roh
Kudus. “Kehadiran Allah, kasih Allah,
kuasa Allah, bisa dialami manusia bila kita memohon sungguhsungguh kepada-Nya,”
tandas imam kelahiran Nganjuk, 8 Juni 1938 ini. Realitanya, sebagian umat Katolik
masih belum “sreg” dengan ungkapan-ungkapan lahiriah dalam Karismatik,
sebagaimana terlihat dalam persekutuan-persekutuan doa, seperti bertepuk
tangan, mengangkat tangan, menari-nari, dsb. Karena itu, menurut doktor
spiritualitas lulusan Institut Catholique de Paris ini, sebaiknya
Karismatik dibedakan antara isi dan kemasannya. “Isinya sama tapi kemasannya
bisa berbeda,” tandasnya lagi.
Tepuk tangan, sorak sorai yang kerap
menjadi ekspresi lahiriah kelompok Karismatik memang masih membuat orang-orang
non-Karismatik “tak bisa memahami”. Bahkan ketika masih pastor muda, Paus
Fransiskus pun skeptis terhadap gerakan Karismatik. “Orang-orang ini
membingungkan liturgi dengan pelajaran samba,” katanya kepada wartawan pada 28
Juli 2013.
Seiring bergulirnya
waktu, Paus Fransiskus berpendapat lain. “Sekarang, saya berpikir bahwa gerakan
ini banyak berbuat baik untuk Gereja. Gerakan Karismatik bukan saja mencegah
umat beralih ke denominasi Pentakosta, tetapi gerakan ini merupakan pelayanan untuk
Gereja Katolik. Gerakan ini memperbarui kita!”
(Komunika, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar