SAY

SELAMAT DATANG DI PAROKI ST.MARIA IMMACULATA MATARAM, JL. PEJANGGIK NO. 37 MATARAM, LOMBOK, NTB, (0370) 632092
“DIPANGGIL MENJADI PEMIMPIN PASTORAL YANG SOLIDER DALAM KEHIDUPAN BERSAMA DEMI KEUTUHAN CIPTAAN”

Sabtu, 13 Februari 2016

Rabu Abu Sebuah Rutinitaskah atau suatu perziarahan iman....

Rabu abu merupakan pintu masuk masa prapaskah. Pada hari itu umat yang datang ke Gereja dahinya diberi tanda salib dari abusebagai simbol upacara ini. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (misalnya seperti dalam Kitab Ester, yaitu Ester 4:1, 3). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu":
"Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan."
Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil."
Seringkali pada hari ini bacaan di Gereja diambil dari Alkitab bagian kitab 2 Samuel 11-12, perihal raja Daud yang berzinah dan bertobat.
Banyak orang Katolik menganggap hari Rabu Abu sebagai hari untuk mengingat kefanaan seseorang. Pada hari ini umat Katolik berusia 18–59 tahun diwajibkan berpuasa, dengan batasan makan kenyang paling banyak satu kali, dan berpantang.

Secara religius, hampir semua umat katolik memaknainya sebagai masa puasa, masa tobat. seperti Tuhan Yesus dahulu melakukan puasa selama 40 hari, demikian pula umat melakukannya, namun muatan yang berbeda.  jika beberapa tahun yang lalu pengertian puasa secara utuh  makan yang kenyang hanya sekali disertai dengan upaya-upaya karya kasih, namun saat ini hanya beberapa orang saja yang masih melakukannya, kemudian bagaimana dengan yang lain? seperti rutin ritualitas tanpa makna.   

Perlu menjadi suatu permenungan kita, mengapa masa puasa saat ini dirasakan sebagai hal yang biasa dan hampir tidak memberi pembeda yang signifikan dengan hari-hari yang lain dalam tahun-tahun kita? Penandaan Abu sebagai tanda tobat, abu adalah hasil akhir suatu benda, bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. mungkinkah pergeseran makna Rabu abu ini karena kurangnya pemahaman secara historika ataukah  keterbatasan dalam menangkap maksudnya. 
puasa sebagai salah satu upaya keimanan dan kesadaran siapa kita.  membawa kita kembali pada satu titik untuk sejenak melihat kebelakang dengan penuh syukur. tahu dan mau mematikan diri dalam jumlah 40 hari masa itu.  



Selama masa prakaskah, kita diberi kesempatan istimewa untuk merayakan sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus yang membawa keselamatan dan kehidupan baru bagi kita. Nah, dalam rangka mempersiapkan diri menyambut kebangkitan Tuhan yang membawa kehidupan baru ini, kiranya makna dari lambang abu tersebut tepat kita gunakan. 

Pertama , abu mempunyai manfaat membersihkan. Kalau kita makan untuk mendapatkan energi kehidupan jasmani, kita pasti membutuhkan piring yang bersih khan, bukan piring kotor. Masak, kita makan makanan yang enak, lezat dan bergizi kok dengan piring kotor. Selera makan kita tentu berkurang. meskipun makanannya yang enak dan bergizi, tapi kalau pirinaya kotor ya menjadi kurang enak, bahkan malah menimbulkan penyakit. Demikianlah kita, kita diajak untuk membersihkan diri kita supaya siap dan pantas menerima kehadiran Tuhan yang memberikan energi hidup, tidak hanya jasmani tetapi juga rohani. Kita diajak untuk memperbarui hidup kita, berdamai kembali dengan Tuhan dan mengoyakkan hati kita – bukan pakaian kita – (Yl 2:13), dan berdamai kembali dengan Allah (1Kor 5:20).

Salah satu usaha nyata yang baik kita lakukan selama masa prapaskah ini, sebagaimana ditegaskan dalam bacaan Injil tadi adalah meningkatkan amal (sedekah), doa, dan puasa.Puasa (+ pantang) merupakan sarana yang sangat baik untuk melatih pengendalian dan penguasaan diri kita; doa merupakan wujud nyata dari usaha kita untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan; dan amal/sedekah yang dapat kita lakukan melalui derma APP merupakan upaya kita untuk mendekatkan diri dengan sesama, bersolider, memberi perhatian dan pertolongan yang konkret.

Kedua , abu yang juga melambangkan kerapuhan dan kelemahan kita menggambarkan bahwa tidak mungkin kita bisa berhasil membersihkan diri kita, kalau kita hanya mengandalkan diri pada usaha dan perjuangan kita sendiri. Maka, kita perlu rendah hati, menyadari kelemahan dan kerapuhan kita di hadapan Tuhan agar Tuhan berkarya dalam diri kita dan memampukan kita untuk menghayati dan mewujudkan pertobatan yang sejati. Maka, seraya berusaha terus-menerus, kita juga harus berani berserah kepada Tuhan. Semoga, usaha-usaha pertobatan yang kita wujudkan kita dalam kegiatan amal, doa, dan puasa dapat membuahkan pedamaian kita dengan Tuhan dan sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar