SAY

SELAMAT DATANG DI PAROKI ST.MARIA IMMACULATA MATARAM, JL. PEJANGGIK NO. 37 MATARAM, LOMBOK, NTB, (0370) 632092
“DIPANGGIL MENJADI PEMIMPIN PASTORAL YANG SOLIDER DALAM KEHIDUPAN BERSAMA DEMI KEUTUHAN CIPTAAN”

Rabu, 01 Maret 2017

misa sore rabu abu


Misa ke dua Rabu abu berlangsung pada pukul 18.00 wita, Misa dipimpin oleh Romo Ariana, petugas liturgi dan koor dari lingkunganKeluarga Nasaret Kr Taruna.
Pesan kotbah disampaikan arti dan hakikat rabu abu bagi umat katolik, kajian berdasarkan surat gembala Bp. Uskup Denpasar mengajak umat untuk lebih memaknai masa pra paskah ini dengan hal-hal yang rohani juga interaksi sesama lebih baik.
umat berbondong-bondong menghadiri misa, walaupun kota Mataram pada saat itu sedang diguyur hujan, hasil pantauan menunjukkan gereja penuh termasuk di balkon dan tangga hingga pintu masuk gereja, sementara aula dan jalan antara aula dan gereja pun dipadati oleh umat.

literasi

Di Yoel 2:13, Allah berfirman: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.” Ayat ini sering dipakai untuk menolak penggunaan simbol termasuk simbol abu dalam Ibadah Rabu Abu. Dasar penolakannya sebab yang utama dalam kehidupan umat adalah pertobatan hati, dan bukan penggunaan simbol-simbol yang lahiriah. Karena itu agar kita dapat memeroleh pemahaman yang utuh, kita akan mengulas latar-belakang dan pemikiran Yoel 2:13.
Latar-belakang Yoel 2:13 adalah umat yang mengutamakan sikap ritualistik, sehingga mereka mengabaikan pertobatan hati. Sikap ritualistik adalah pola kerohanian yang dibangun di atas keampuhan (khasiat) ibadah, namun dalam kehidupan sehari-hari umat mempraktikkan ketidakadilan, keserakahan, kesewenang-wenangan, dan kejahatan. Umat Israel pada waktu itu keliru memahami makna ibadah kepada Allah sebagai ritualisme, dan mengabaikan spiritualitas. Namun pengabaian umat terhadap spiritualitas yang diekspresikan dalam ritual/ibadah bukan berarti Yoel 2:13 bermaksud untuk meniadakan ibadah.

Penggunaan abu sebagai ungkapan penyesalan dan pertobatan juga dapat kita lihat dalam Daniel 9:3, yaitu: “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu.” Daniel berpuasa dengan mengenakan kain kabung dan abu dalam rangka memohon pengampunan Allah atas dosa-dosa bangsanya. Daniel menyadari bahwa bangsanya, yaitu Israel telah memberontak dan berlaku jahat di hadapan Allah sehingga Allah menghukum mereka dengan pembuangan di Babel selama tujuh puluh tahun (Dan. 9:2). Dengan berpuasa mengenakan kain kabung dan abu, Daniel berharap akan kemurahan Allah sehingga Ia berkenan memulihkan umat-Nya. 



Sikap yang sama diperlihatkan oleh penduduk Niniwe setelah mereka mendengar rencana hukuman Allah. Di Yunus 3:5-6 mempersaksikan: “Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung. Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu.” Sangat menarik bahwa orang Niniwe yang digolongkan oleh umat Israel sebagai bangsa kafir, namun ternyata mereka mengenal ungkapan pertobatan melalui puasa dengan mengenakan kain kabung dan abu. Tampaknya ungkapan pertobatan melalui puasa dengan mengenakan kain kabung dan abu telah memiliki akar yang universal dalam tradisi masyarakat Timur Tengah.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar