Oleh :
Prof. Peter Kwasniewski
Diterjemahkan
bebas oleh : HiFraX
Sumber : http://www.indonesianpapist.com
P
|
Mereka mengambil sedikit atau bahkan tidak sama sekali ajaran
Konsili yang otentik – ajaran yang menyegarkan bahwa, berdasarkan intensi
Yohanes XXIII dan banyak kata-kata dari Vatikan II itu sendiri, sepenuhnya
disesuaikan dengan pengajaran dari konsili-konsili ekumenikal sebelumnya,
terutama konsili Trente dan Vatikan I. Tetapi bukannya roti, melainkan umat
beriman malah diberikan batu. Bukannya isi yang substantif (sesungguhnya),
orang-orang beriman malah diberikan sebuah hermeneutic, yaitu sebuah cara
untuk melihat Gereja, pengajarannya, tradisinya, liturginya – yang secara pasti
itu adalah salah satu perpecahan dan diskontinuitas. Untuk menjadi seorang
Katolik di zaman yang memabukkan iniberarti menjadi berbeda, menjadi yang
lain, menjadi up-to-date; hal ini tentunya tidak bermaksud untuk menjadi
sama, konsisten dengan masa lalu, bergantung pada tradisi. Gereja tidak lagi
merupakan Tubuh Mistik dan Mempelai Tak Bernoda dari Yesus Kristus; Gereja
sudah memperbaharui diri, memperbaharui diri tanpa sebuah target, bahkan tanpa banyak
rencana, memperbaharui hanya demi memperbaharui. Seperti yang dipertanyakan
oleh teolog Protestan yang terkenal, Karl Barth, saat kemunculan Konsili :
“Kapan Gereja akan mengetahui bahwa dirinya sudah cukup terupdate?” Saya pikir
itu adalah yang Anda sebut sebagai pertanyaan retorik.
Tragisnya, generasi klerus (para kaum tertahbis)
telah dilatih dalam hermeneutik akan perpecahan dan diskontinuitas yang sama (hermeneutic
of rupture and discontinuity), begitu juga dengan hampir seluruh
uskup di dunia. Itulah mengapa kebangkitan yang tidak terduga dari
bentuk-bentuk iman dan peribadatan yang tradisional (seperti Misa Tridentin /
Misa Latin Tradisional) diantara orang-orang muda Katolik, yang seiring waktu
meningkat menjadi komitmen yang bersemangat dalam diri orang-orang muda Katolik
tersebut, adalah sumber dari kebingungan, kekhawatiran, dan bahkan kemarahan
bagi para klerus tersebut. Berdasarkan latihan dan kebiasaan berpikir mereka,
klerus-klerus itu menyamakan liturgi zaman sekarang dan penyimpangannya yang
beraneka ragam itu dengan Vatikan II dan kemudian menyamakan kecintaan atau
pilihan akan liturgi yang tradisional dan budaya yang melingkupinya sebagai
penolakan akan Vatikan II. Hal ini mungkin benar bagi sebagian orang, tetapi
hal ini tidak benar secara keseluruhan, dan hal ini tidak perlu untuk menjadi
benar sama sekali.
Kelihatannya tidaklah penting bahwa liturgi tradisional dan
kehidupan utuh Katolik yang faktanya menopang secara teguh dalam harmoni dengan
pengajaran terbaik dan terhebat dari Konsili itu – kita hanya perlu memikirkan
Lumen Gentium, Dei Verbum, dan bahkan Sacrosanctum Concilium. Tidaklah penting
bahwa Paus Benediktus XVI, teolog terhebat yang duduk di Tahta Petrus setelah
berabad-abad, melihat keberlanjutan/kontinuitas antara ajaran dan praksis
liturginya sendiri dengan yang berasal dari Konsili yang dulunya ia berikan
kontribusi besar di sana. Tidak, itu tidaklah penting, karena itu tidak
terlihat demikian penting bagi orang-orang Katolik yang tidak peduli pada
dokumen-dokumen Konsili, tidak peduli pada warisan liturgis Gereja dan buruknya
umat Katolik ini dibentuk demikian oleh hampir 50 tahun pelecehan Liturgi (liturgical
abuse).
Apa yang penting saat ini adalah untuk menunjukkan - secara
sabar, secara gigih, dan secara akurat, dengan kerendahan hati dan kepercayaan
diri yang lahir dari pembelajaran yang hati-hati - bahwa para Bapa
Konsili Vatikan II tidak menginginkan atau meminta pembaharuan liturgi yang
berasal dari Konsilium Uskup Agung Bugnini, bahwa Misa Novus Ordo tidak
dalam kesesuaian penuh dengan Sacrosanctum Concilium (lihat di sini dan
di sini),
dan bahwa pengajaran dari 16 dokumen resmi Vatican II justru mendukung dan
bukannya melucuti teologi dan ulah kesalehan Katolik yang tradisional.
Bagaimanapun, hal terakhir yang dapat kita lakukan adalah tidak mengizinkan
diri kita untuk terlibat dengan bacaan-bacaan yang memiliki kebenaran
setengah-setengah atau bacaan yang bertendesi memperlebar perpecahan, baik
bersumber dari para modernis atau tradisionalis [yang berada di luar persatuan
dengan Paus].
Benar bahwa ada banyak masalah, kesulitan, dan ambiguitas di
dalam dokumen-dokumen konsili. Benar bahwa tidak semua formulasi dalam Konsili
Vatikan II adalah kebal terhadap kritik-kritik yang sah – bahkan Ratzinger
mengeluh bahwa bagian dari Gaudium et Spes“benar-benar Pelagian”. Dan tidak
diragukan lagi bahwa ada Uskup-uskup dan para ahli di dalam Konsili Vatikan II
yang meminta untuk memasukkan modernisme ke dalam dokumen-dokumen Konsili dan –
sampai pada batas tertentu - sukses dalam mempengaruhi formulasinya. Tapi lebih
pasti lagi bahwa dokumen-dokumen final yang direview berkali-kali dan
melewati wadah pengawasan dari kepausan dan konsili adalah - dengan sejumlah
kecil pengecualian - sehat dalam isi dan formula; dan inilah yang
paling pasti bahwa mereka bebas dari kesalahan dalam iman dan moral, menjadi
tindakan resmi dari sebuah konsili ekumenis dan secara agung dipromulgasikan
oleh Paus. Kita tidak boleh pernah - seperti dulunya - menelantarkan Konsili
kepada para modernis; Konsili ini hanya akan menjadi mainan bagi tangan-tangan
iblis.
Bagaimanapun, bukan hanya Konsili yang paling baru ini yang
memberikan bagi kita peta dan aturan untuk bergerak, tetapi juga seluruh
Tradisi Katolik dan seluruh Magisterium sejak 2000 tahun ini, yang mana Konsili
ini hanyalah sebuah bagian kecil dan di dalam Tradisilah dimana kita
mengerti Konsili ini secara benar. Kita tahu bahwa di dalam prinsip, tidak ada
bacaan dari Vatikan II yang mungkin benar bila menghasilkan pertentangan antara
masa lalu dan masa kini. Tetapi kita dibimbing oleh seluruh pengajaran Gereja,
tidak hanya dari yang terbaru. Memang, kita beruntung untuk memiliki sebuah
“tubuh” yang walaupun ia berkembang seiring waktu tetapi dasarnya tidak dapat
berubah secara esensi. Para pendukung dari perubahan abadi bisa saja memiliki
liturgi-liturgi aneh mereka dan secara politis mengoreksi katekismus, tetapi
mereka bukanlah lagi seorang Katolik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar