Yesus
seakan menjadikan diriNya “konyol” dalam drama “Hikayat daun-daun Palma”.
Minggu Palma merupakan suatu peristiwa penting dalam iman
Katolik. Bukan saja secara historis
Yesus masuk kota Raja Yerusalem dengan dielu-elukan oleh sedemikian banyak
orang, namun juga tersimpan suatu paradoks manusia yang selalu faktual dari
jaman ke jaman, dari generasi ke generasi.
Kisah paradoks dengan teriakan “Hosana
Putera David, terpujilah yang datang dalam nama Tuhan” sebagaimana sambutan
kemenangan bagi sang Raja, dengan daun-daun palma dan ranting-ranting yang dijadikan simbol keagungan, bahkan
batu-batu pun akan berteriak bila saja manusia tidak mau berteriak. Suasana riuh
reda, harapan meninggi, mendorong bayangan-bayangan kuasa dan hasrat “kebebasan”
keluar, kemudian tiba-tiba berganti menjadi hujatan dan dera dengan mahkota
duri yang menusuk dalam sekali keIlahian kasih, sementara Dia hanya diam.
Susana menjadi antiklimaks dari
hosana menjadi hujatan, dari keagungan
daun palma menjadi salib dan mahkota duri.
Yesus seakan menjadikan diriNya “konyol” dalam drama “Hikayat daun-daun
Palma”. Seperti harapan banyak orang Yerusalem saat itu dengan hasrat dan
keinginan mereka untuk bebas dari penjajahan, sebuah batasan kesabaran dan pengertian
yang mampu dijangkau manusia, kemudian seakan “berselempang semangat dan derap yang
tak bisa mati” tampil sebagai punggawa berdaun palma, meletakkan baju dan
daun-daun di tanah, berteriak “Hosana!”. Namun sayang
sekali tidak terjadi apa-apa. Tangan
mengepal yang siap menumpahkan darah
menjadi lemas, kering seperti beling karena
tujuan terpenjara, atau mulut menjadi kelu ketika Yesus ternyata tidak memilih
jalan perang, melainkan salib.
Maka bukanlah “hosana putera
David” sebagai genderang perang atau pekik “serbu” tanda menyerang tetapi
Salib! Dalam adat Yahudi salib sama dengan penghinaan. Yesus memang memilihnya
justru dari hal yang sangat Hina dalam peperangan yang sesungguhnya melawan “Maut”
akibat dosa. Rahmat pengertian kemenangan
atas dosa melalui salib justru melalui penghinaan bukan peperangan yang perwira,
tidak menumpahkan darah orang banyak, namun menyelamatkannya.
Dalam aspek budaya daun palma
melambangkan kuasa dan keagungan. Harapan
pada kuasa dan keagungan manusia, kenyamanan dan keamanan sesaat, bukanlah
kehendak Allah. Daun-daun palma adalah
benih-benih yang ditabur olah Yesus dalam melayani, memberi diri dalam
mengasihi, ketulusan menanggung resiko. Mengikuti
Yesus dalam perarakan daun palma, dipahami sebagai peristiwa memberi
benih-benih pelayanan dengan memberi diri untuk mengasihi walau ditolak, tulus
menerima resiko akibat pelayanan itu. Buah-buahnya
justru di kayu salib, karya terbesar Allah bagi kita. Selamat merayakan Minggu
Palma, selamat berarak bersama Tuhan dalam pelayanan yang tulus penuh kasih
Nya.
Demikian intisari kotbah Rm. Lorensius Maryono, Pr dalam misa Minggu Palma di Gereja St. Maria Immaculata Mataram. Misa tersebut dihadiri oleh sedikitnya 1500 orang, dimana aula, halaman depan dan samping gereja penuh berisi umat. Petugas koor adalah lingkungan st. Theresia Pagutan dengan dirigennya Dea, sementara lektor oleh para Prodiakon masing-masing Bp. F Subarman, Pasio Bp. Sabinus, Bp. Ari, dan Bp. Agus Bok. misa berlangsung dalam suasana meriah dan agung,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar